NUSRAMEDIA.COM, MATARAM – Ketua Fraksi Bintang Perjuangan Nurani Rakyat (F-BPNR) DPRD NTB, Lalu Budi Suryata menyoroti sejumlah pejabat public yang berperan sebagai Ketua KONI ditiap daerah.
Pasalnya hampir diseluruh daerah lingkup NTB, jabatan Ketua KONI dipegang langsung oleh pejabat public dari kalangan Bupati/Wakil Walikota termasuk Pimpinan DPRD.
Disisi lain ini menimbulkan keprihatinan, yang meskipun didasari dengan system demokrasi atau penunjukkan secara aklamasi.
Budi Suryata menilai, hal itu adalah suatu sikap yang melawan hukum yang tertuang dalam aturan. Seperti UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolaragaan Nasional (SKN).
Termasuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, secara jelas melarang bagi siapapun pejabat public memegang pimpinan/ketua KONI.
Bahkan diperkuat lagi dengan adanya Edaran dari Kemendagri yang telah dilayangkan sebanyak dua kali. Yakni SE Nomor 800/148/tanggal 17 Januari 2014 tetang pejabat public tidak diperbolehkan menjabat Ketua KONI.
“Jadi disini kita minta aparat penegak hokum (APH) bergerak. Karena aturan sudah jelas yang melarang itu semua,” kata Anggota DPRD NTB asal Dapil V Sumbawa-KSB ini, Selasa (24/9) di Mataram.
Ungkapan ini dipandangnya perlu untuk disampaikan, terlebih sebagai pengingat terkait aturan-aturan yang ada. Sebab kata Budi, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik kepentingan.
“Apalagi yang dikelola itu adalah dana APBD yang tidak sedikit jumlahnya,” kata mantan Ketua DPRD Kabupaten Sumbawa ini.
Ditambahkan, Anggota F-BPNR Ruslan Turmudzi mengaku aneh. Padahal kata dia, hal ini sudah diwanti-wanti jauh harinya. Yaitu saat penyusunan Perda Keolahragaan di NTB 2017 lalu.
Dengan harapan kata politisi senior PDI-P itu, agar pemda di kabupaten/kota dapat mengikuti aturan tersebut.
“Tapi aneh saja, saat pengurusan KONI NTB mematuhi aturan itu, tapi di pengurusan KONI kabupaten/kota tidak,” ujarnya.
“Disana (kabupaten/kota) masih banyak pejabat public yang rangkap jabatan memegang jabatan (Ketua KONI) itu. Aturan UU, PP termasuk dua kali SE dari Mendagri dan adanya Perda Provinsi NTB juga tidak dipatuhi,” imbuh Ruslan kesal.
Berdasarkan hasil diskusi internal fraksi yaitu terdiri dari parpol gabungan seperti PDI-P, Hanura dan PBB menyebutkan sejumlah pejabat public yang berperan sebagai Ketua KONI di kabupaten/kota lingkup NTB.
Antara lain sebutnya, di Kota Mataram, yaitu Wakil Walikota, Mohan Roliskana, selanjutnya di Bima ada Indah Damayanti Putri selaku Bupati.
Kemudian Ketua KONI di Kota Bima dijabat oleh Fery Sofian yang tak lain merupakan Wakil Walikota Bima. Begitu juga Sumbawa, Lombok Tengah merupakan unsure pimpinan DPRD.
Sementara itu, Wakil Sekretaris KONI Kabupaten Bima, Wahyuddin menilai lahirnya latar belakang mengapa pejabat public ditunjuk secara aklamasi menjadi Ketua KONI tak bisa dilihat secara saklak begitu saja.
Namun lanjutnya, juga harus dilihat dari senyatanya kondisi yang terjadi di daerah. Sebab di daerah kata Wahyuddin, membutuhkan figure pemimpin yang mapan, matang serta memiliki kapasitas dalam menahkodai sebuah organisasi.
Sedangkan figur-figur diluar pejabat public yang memiliki kemantangan dan kemapanan termasuk sisi kapasitas untuk memimpin KONI ditiap daerah sangat terbatas.
Bahkan lebih lanjut dikatakan Wahyuddin, hal terpenting yaitu bahwa lahirnya pemimpin atau ketua KONI berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan secara aklamasi.
Sehingga tak ada satupun cabor yang merasa keberatan. Sebab itu semua didasari atas kesadaran dari utusan cabor dengan pertimbangan utama agar tiap cabor dapat terurus secara baik.
Lebih jauh, terkait dengan dana hibah dari APBD dalam organisasi KONI. Menurut Wahyuddin, ketika sudah masuk dalam ranah sebuah organisasi, maka konteks pembicaraannya bukan lagi secara personal, ataupun pejabat public.
“Jadi kita sudah berbicara institusinya yang melakukan pengelolaan dana hibah itu adalah institusinya. Disitu ada ketua harian dan pengurus lainnya. Jadi yang menerima dana bantuan itu adalah lembaga KONI nya bukan personal pejabatnya,,” kata dia meluruskan terkait hal tersebut.
“Didalam Koni itu ada pengurus yang kemudian melakukan pengelolaan keuangan itu baik itu yang langsung didistribusikan untuk pembinaan Cabor, bantuan untuk Cabor dalam mengikuti event-event Nasional, dan Kejuaraan Daerah. Dan dari dana bantuan itu, tidak ada yang diarahkan untuk menggaji pengurus KONI. Malah kebanyakannya justru uang pribadi pengurus KONI yang terkadang dikeluarkan untuk membiayai event kegiatan salah satu Cabor,” tambahnya lagi.
Dikatakannya, meski ada desakan dari pihak luar untuk mendorong agar pejabat publik itu mundur dari jabatan sebagai Ketua KONI, maka hal itu tidak akan berdampak pada kondisi kepemimpinan di KONI itu sendiri.
“Karena yang bisa membuat Ketua KONI itu berhenti atau mundur dari jabatannya hanyalah desakan mosi tidak percaya dari para pengurus Cabor. Pihak luar jelas tidak punya hubungannya dengan organisasi KONI, sebab yang melakukan penilaian itu adalah cabor,” ujarnya.
“Dan kalau ada pihak yang menilai karena personalnya Ketua adalah Pejabat Publik sehingga tidak bisa dinilai LPJ nya menurut saya itu adalah persepsi yang keliru. Karena yang menerima dana hibah APBD itu bukan personal pejabat publiknya akan tetapi Lembaga KONI secara institusi dan secara administrasi yang melakukan pengurusannya adalah Ketua Harian. Kan ada mekanisme pengurusan keuangan yang dilakukan oleh KONI dan secara rutin diaudit oleh inspektorat,” jelasnya.
Pihaknya menilai regulasi yang memuat ketentuan pelarangan pejabat publik untuk memimpin KONI ini tidak sesuai dengan kondisi senyatanya di daerah yang sangat berbeda dengan kondisi seperti di Jawa dan Jakarta.
“Di NTB ini belum ada sosok pengusaha yang mapan yang bisa secara sukarela membiayai kegiatan cabor ketika kas KONI itu sedang kosong. Sementara ekspektasi publik terhadap bidang olahraga ini sangatlah besar,” tuturnya.
“Maka sangat perlu kearifan-kearifan bagi kita semua untuk melihat realitas sejatinya dunia olahraga kita. Jangan melihat hal ini dengan cara yang sangat kaku dan normatif saja,” demikian tambah Wahyuddin. (red)