HEADLINE

Rawan Maladministrasi, Penyaluran BPNT di NTB Perlu Diperbaiki

MATARAM – Praktek penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang disalurkan di sejumlah tempat di Nusa Tenggara Barat sangat rawan terjadinya pelanggaran dan perbuatan maladministrasi. Hal ini terjadi karena sejumlah ketentuan penyaluran BPNT dilanggar dan bahkan ada unsur manipulasi proses penyaluran.

Ombudsman RI Perwakilan NTB menghimbau kepala daerah dan OPD terkait segera memperbaiki proses penyaluran dan melakukan pengawasan, pendampingan dan evaluasi lebih ketat agar penyaluran BPNT sesuai dengan yang ditargetkan pemerintah.

Demikian hal itu dikatakan, Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTB, Adhar Hakim, Kamis (4/2) di Mataram. Diungkapkannya, Ombudsman NTB telah melakukan investigasi lapangan dan pemeriksaan tertutup kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM), pengelola E-Warong dan Dinas Sosial di sejumlah kabupaten. Berdasarkan informasi dan keluhan dari masyarakat penerima bansos yang tercatat dalam KPM.

Adapun keluhan masyarakat, kata dia, antara lain buruknya kualitas pangan yang diterima, serta kuantitas barang yang kurang dan tidak sesuai ketentuan. Selain itu juga, terjadi praktek pemaksaan pola pembagian dengan mempaketkan bantuan dengan penentuan jumlah total bantuan sepihak.

“Berdasarkan Pedoman Umum Program Sembako dan Permensos Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyaluran BPNT, menyebutkan KPM dalam transaksi perbelanjaan di E-Warong dapat memilih pangan yang telah ditentukan sesuai kebutuhan,” kata Adhar Hakim.

Baca Juga:  Pendaftar di BLK Sumbawa Tinggi Peminat

Selain itu, sambungnya, dalam Pedoman Umum Program Sembako menyebutkan E-Warong tidak boleh memaketkan bahan pangan, yaitu menjual bahan pangan dengan jenis dan dalam jumlah yang ditentukan sepihak oleh E-Warong atau pihak lain sehingga KPM tidak mempunyai pilihan.

“Namun di sejumlah tempat terlihat praktek pangan yang dibeli oleh KPM sudah dipaketkan, bahkan E-Warong sudah menerima paket pangan dari suplaiyer dalam bentuk paket. Bantuan telah dipaketkan dengan isi berupa beras 10 kg, kacang-kacangan, daging, telur dan buah yang dihargakan Rp 200 ribu,” ujar Adhar Hakim.

Padahal ketentuannya, menurut dia, masyarakat berhak memilih sesuai kebutuhan. Akibatnya masyarakat tidak bebas memilih jenis dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan. Hasil pemeriksaan lapangan juga menemukan profile E-Warong yang tidak sesuai Pedoman Umum.

“Banyak E-Warong yang tidak menjual bahan pangan sebagai salah satu syarat pendirian E-Warong, misalnya tempat menjual pulsa, tempat menjual rokok elektrik. Dimana mereka hanya mendatangkan bahan pangan sudah dipaketkan dari suplaiyer saat Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) terbit,” ungkapnya.

“Sehingga komptensinya dalam pengetahuan kualitas bahan pangan tidak ada. Padahal baik Permensos Nomor 20 tahun 2019 maupun Pedoman Umum Program Sembako menyebutkan E-Warong adalah agen Bank, pedagang dan atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan Bank Penyalur dan ditentukan sebagai tempat penarikan atau pembelian bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial bersama Bank penyalur,” imbuh Adhar Hakim.

Baca Juga:  Mo-Novi Terus Upayakan Peningkatan Kualitas Infrastruktur di Sumbawa

Cara dan praktek seperti itu, sebut dia, selain bertentangan dengan ketentuan yang ada dan berpotensi terjadinya maladministrasi dan korupsi, tidak akan membantu niat pemerintah menyalurkan bantuan secara baik dan tidak dapat mendorong pertumbuhan Usaha Mikro Kecil seperti yang diniatkan melalui pola penyaluran.

“Sejumlah E-Warong tidak sesuai standar dan persyaratan. Sehingga perlu dipertanyakan seperti apa Bank Penyalur dalam menetapkan, membina, mengawasi dan melakukan evaluasi terhadap E-Warong,” tegasnya.

Ombudsman NTB, masih kata Adhar Hakim, berdasarkan sejumlah temuan lapangan juga melihat indikasi adanya praktek yang mengarahkan. Bahkan mengatur E-Warong agar bekerjasama dengan suplaiyer tertentu sebagai pemasok. Kemudian berperan aktif meminta E-Warong menandatangani perjanjian kerjasama dengan suplaiyer yang isi perjanjiannya sudah ditentukan sepihak.

“Jika ada penolakan oknum pendamping tersebut terkesan mengancam. Hal ini melanggar Permensos No 20 Tahun 2019 tentang BPNT menyebutkan, tugas dari Pendamping Sosial Bantuan Sosial Kecamatan adalah mendampingi KPM BPNT selama proses registrasi, aktivasi rekening, dan dapat mendampingi KPM BPNT dalam pembelanjaan dana program penyaluran BPNT,” katanya.

Baca Juga:  ASN Diminta Jangan Tambah Libur : "Kalau Tidak Masuk Diberikan Sanksi"

“Yaitu melengkapi data KPM BPNT untuk melakukan penggantian KPM BPNT; membuat jadwal distribusi KKS, menyusun laporan penyaluran BPNT, melakukan sosialisasi kepada KPM BPNT; dan melakukan pemantauan pelaksanaan program penyaluran BPNT,” tambahnya lagi.

Menurut Adhar Hakim, dalam ketentuan tersebut tidak ada menyebutkan tugas pendamping memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur E-Warong untuk kerjasama dengan Suplaiyer tertentu. Sehingga hal tersebut melampaui apa yang menjadi tugas serta menyalah gunakan kewenangannya.

“Justru dalam Pedoman Umum Bantuan Sembako membebaskan E-Warong dalam membeli pasokan bahan pangan dari berbagai sumber dengan memperhatikan tersedianya pasokan bahan pangan bagi KPM secara berkelanjutan serta pada kualitas dan harga yang kompetitif bagi KPM,” tuturnya.

“Untuk itu, kami meminta setiap kepala daerah dan Dinas Sosial yang tengah menjalankan Program BPNT segera melakukan evaluasi dan melakukan pengawasan secara ketat agar program bansos dapat dilaksanakan sesuai ketentuan dan mencegah praktek maladministrasi dan korupsi,” demikian Adhar Hakim. (red)